![]() |
Mari Bangkitkan Pertanian Di Indonesia |
A.
Sebelum
Zaman Penjajahan
Dalam
masyarakat Indonesia zaman dahulu, kita sudah mengenal adanya masyarakat hukum
adat dari suatu daerah tertentu yang merupakan persekutuan hukum atau
masyarakat hukum dalam suatu wilayah tertentu yang berbeda-beda. Orang asing
menyebutnya dengan Rechtsgemeenschaap atau Beschikkingskring.[1] Selanjutnya
kita mengenal adanya hak atau wewenang menguasai diri persekutuan hukum
tersebut terhadap wilayah atau tanah dalam wilayah persekutuan hukum adat itu.
Hak persekutuan hukum adat ini oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah “Beschikkingskringrecht“
yang mana C. Van Vollenhoven Menguraikan adanya enam sifat “Becschikkingskringrecht”
yaitu[2] :
- Persekutuan hukum itu sendiri dan warganya boleh menggunakan dengan bebas tanah yang masih terletak didalam wilayah pertuanan yaitu mengelolahnya, mengumpulkan hasil hutan, hasil pertanian, berburu, dan lain sebagainya.
- Orang luar boleh juga menggunakan
hak itu dengan seizing pamong persekutuan tanpa izin orang tersebut telah
melakukan delik.
- Orang-orang luar bagi warga
persekutuan kadang-kadang harus membayar uang (pengakuan/rekognisi) jika
hendak menarik hasil dari pada tanah-tanah persekutuan itu.
- Persekutuan hukum harus
bertanggungjawab terhadap delik-delik tertentu yang telah melakukan dalam
wilayah pertuanan jika tidak dapat ditentukan bersalah.
- Persekutuan hukum tidak dapat
melepaskan hak pertuanan selama-selamanya.
- Persekutuan hukum tetap campur
tangan secara koras maupun tidak atas pemakaian tanah dan pemindahan ha
katas tanah itu, segala transaksi atas tanah selalu membutuhkan bantuan
kepada persekutuan.
Sedangkan menurut Supomo berbeda
pendapat terhadap hak tersebut yang menyebutnya dengan “Hak Pertuanan“
namun menurut Hazairin disebut dengan hak wilayat yang merupakan serangkaian
hak dan kewajiban yang mengatur hubungan antara orang luar dengan lingkungan
tanah serta anggotanya atau persekutuan itu sendiri.[3]Sehingga
hak pertuanan atau hak ulayat merupakan hak tertinggi dari persekutuan hukum
(baik dalam persekutuan hukum geneologis maupun persekutuan hukum teritorial)
dalam suatu adat istiadat di wilayah adat tersebut yang berbeda-beda dalam
tradisi hukum seperti istilah adat untuk nama pertuanan “beschikkingsrecht” ini
tiap daerah berbeda-beda umpamanya : “petuanan”
(Ambon), “Penyampeton” (Kalimantan), “wewengkon” (Jawa), “Parabumian”
(Bali), “Totabuan” (Gorontolo), “Hak Ulayat” (Minangkabau), dan
lain sebagainya.[4]
Di bawah hak ulayat yang merupakan hak persekutuan hukum terhadap hak-hak
perseorangan bagi anggota-anggota persekutuan hukum tersebut, seperti hak
milik, hak pungut hasil (bagi hasil), atau hak bagi orang luar persekutuan
tersebut seperti hak pakai.[5]
B.
Zaman
Penjajahan
Pada masa 1602-1799 VOC
mempunyai hak bagian-bagian tanah tersebut disamping memegang monopoli dagang
besar. Bagian-bagian tanah yang dikuasai tersebut adalah merupakan daerah yang
jatuh karena ditaklukan dengan senjata atau dikuasai berdasarkan perjanjian
dibuatnya. Keadaan itu mengakibatkan VOC mempunyai kekuasaan yang memperlakukan
hukum barat tanpa mengindahkan hukum adat
dengan adanya pajak hasil bumi dijalankan di mana-mana sehingga
mengakibatkan pemberontakan dan peperangan sehingga menimbulan VOC kekurangan
uang dan menjual tanah-tanah yang kemudian dikenal dengan tanah partikelir (seperti
di srengseng dan depok tahun 1705).[6]
Tahun 1808-1811, Mr.
Herman Willem Daendels yang merupakan Gubernur Jendral di Indonesia setelah VOC
bubar meneruslah penjualan tanah kepada pihak swasta secara besar-besaran (umpamanya
tanah yang di Panarukan, Probolinggo). Disamping pungutan pajak hasil bumi tetap
berlangsung Setelah itu pada Tahun 1811-1816, Thomas Stanford Raffles menggantikan
Daendels dia berdasarkan penyelidikan mempunyai kesimpulan bahwa semua tanah
adalah kepunyaan Raja/Gubernur (selaku penjajah) yang kemudian menyewakan
kepada Kepala Desa dan seterusnya menyewakan kepada petani. Dengan demikian
karena semua tanah adalah milik gubernur maka rakyat dianggap sebagai penyewa (Pachter).
Petani sebagai penyewa wajib membayar sewa baik berupa uang atau hasil tanah .
Berdasarkan teori maka Raffles mengadakan teori “Landrent“ atau pajak
bumi. Tahun 1830-1833, Van den Bosch menjadi Gubernur Jendral Indonesia dia
meneruskan teori Raffles dengan membentuk tanam paksa (Culturstelsel).
Dengan Culturstelsel ini dibebankan tidak membayar pajak namun 1/5 dari
hasil tanahnya harus ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan
untuk dipasarkan di Eropa karena Culturstelsel hanya untuk kepentingan
penjajah dalam hal ini untuk mengisi kas Negara pemerintah Belanda yang mana
dalam prakteknya Culturstelsel ini merugikan rakyat.[7]
Pada waktu diadakan culturstelsel
(tanam paksa) tidak lagi diadakan persewaan baru keadaan demikian ini
berlangsung sampai keluarnya pasal 62 RR (Rengerngs Reglement) singkatan
dari Reglement Op Het Beleid Der Regering Van Nederlands Indie pada
tahun 1854. Sebelum tahun 1839 ada tanah yang belum dibuka dan diusahakan oleh
rakyat (tanah-tanah kosong) yang disewakan oleh pemerintah untuk
perseroan-perseroan perkebunan tetapi sejak itu sejalan dengan sistem tanam
paksa tidak diadakan persewaan baru namun dengan keluarnya ketentuan pemerintah
Belanda pada tahun 1854 yaitu pasal 62 RR ayat 3 secara tegas dibuka lagi
kesempatan untuk menyewa tanah dari Pemerintah.[8]
Pada tahun 1870
Pemerintah jajahan Belanda mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan
kebijakan mengenai Agraria yang disebut dengan Aggrarische Wet (Stbl.
1870 No. 55) berkaitan dengan perkembangan sejarah politik hukum adat yaitu
kebijakansanaan, sikap terhadap dan terutama adalah perundang-undangan
berhubungan dengan hukum adat yang mana saat dikeluarkannya Agrarische Wet
adalah dalam waktu 1848-1928 yang mana hasil kodifikasi Belanda telah nyata
menjadi hukum Positif di Negeri Belanda sehingga saatnya juga untuk memulai di
Indonesia suatu usaha membuat peraturan-peraturan tetap yang akan mengganti
peraturan sementara dan peraturan lama.[9]
Setelah Agrarische
Wet hingga pada tahun 1928 untuk melaksanakan peraturan tersebut masih kurang
cukup aturan yang jelas sehingga dikeluarkan berbagai Peraturan salah satunya
yang paling penting ialah Koningklijk Besluit atau dikenal juga Agrarisch
Besluit (AB) yang diundangkan dalam Staatblad tahun 1870 No. 118
yang mana dalam aturan tersebut adanya
peraturan penting dan terkenal dengan sebutan “Domenverklaring”
(Pernyataan Domein) yaitu semua tanah yang tidak dibuktikan tanah hak
milik mutlak (eigendom) orang lain maka tanah itu menjadi tanah Negara
sehingga menjadi konsekwensi penetapan ini menjadi tidak berdasar tentang
peraturan eigendom sehingga banyak tanah adat menjadi tanah Negara dalam
kepemilikannya karna sulit membuktikan mana tanah adat dan mana tanah Negara
secara hukum Formil dalam suatu sengketa di dalam persidangan dalam hukum Belanda.[10]
C.
Zaman
Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1960)
Sejalan dengan
kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, maka secara berangsur-angsur
telah terjadi usaha perombakan dan perubahan untuk mengganti Undang-undang yang
dibuat pada zaman kolonial dengan perundang-undangan yang sesuai dengan
kemerdekaan menuju kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Cita-cita unifikasi,
kodifikasi dan perombakan isi perundang-undangan mulai dikumandangkan oleh bangsa
Indonesia melalui pemimpin-pemimpinnya, seperti tahun 1958 keluar Undang-undang
Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir dan tahun 1960
keluar Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tantang perjanjian bagi hasil yang mana
dalam aturannya memberikan gambaran dalam melakukan perjanjian bagi hasil namun
dalam prakteknya belum memberikan yang maksimal karna tidak adanya aturan
secara teknis.[11]
Dan lebih gambling lagi
pada tahun 1959 dinyatakan lebih tegas dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus
1959 sebagai berikut :”…Demikian pula persoalan tanah. Kita mewarisi dari
zaman Belanda beberapa hal yang harus diberantas. Antara lain apa yang
dinamakan (Hak Eigendom) diatas sesuatu
bidang tanah. Mulai sekarang kita coret sama sekali eigendom tanah dari hukum
pertanahan di Indonesia. Tak dapat kita benarkan di Indonesia merdeka ada
sesuatu bidang tanah yang di eigendom oleh orang asing in casu orang belanda.
Kita hanya mengenal hak milik tanah bagi bangsa Indonesia sesuai dengan pasal
33 UUD 1945.” Sehingga pidato
Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 menurut Dewan Pertimbangan Agung telah menjadi Garis-garis Besar Haluan
Negara berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 yo. Tap MPRS No.
1/MPRS/1960 yang kemudian menjelang keluarnya UU No. 2 tahun 1960 yang
mempengaruhi UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.[12]
D.
Zaman
Kemerdekaan Republik Indonesia (Tahun 1960 hingga sekarang)
Sejalan mengalami
proses yang cukup lama maka pada tahun 1960 keluarlah Undang-undang nomor 5
tahun 1960 Lembar Negara Nomor 104 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria
yang berlaku pada tanggal 24 September 1960 maka terjaminnya hak dan kewajiban
penduduk warga Indonesia. Sehingga dalam pelaksanaannya (pasal 7) tentang
pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai oleh
keluarga atau badan hukum maka dikeluarkannya peraturan-peraturan misalnya
Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian
dan Instruksi Presiden Nomor 13 tahun 1980 tentang pelaksaan Undang-undang
Nomor 2 tahun 1960 serta untuk melaksanakan ketentuan Konvensi sebagaimana
tercantum dalam bagian kedua tercantum
dalam bagian kedua Nomor 5 tahun 1960 tentang dikeluarkan berbagai peraturan
seperti Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa
ketentuan Undang-undang Pokok Agaria yang mana dalam melakukan peraturan
dibidang Agraria terjamin sebagai dasar hukum.[13]
Untuk melaksanakan
Pasal 17 tentang peraturan luas maksimum/minimum tanah yang boleh dipunyai oleh
keluarga atau badan hukum maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan misalnya[14] :
1.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 56 tahun 1960 yang disahkan
menjadi undang-undang No. 1 tahun 1961
tentang penetapan luas tanah pertanian.
2.
Keputusan
Menteri Agraria No. Sk. 978/Ka/1960 tentang penegasan luas maksimum/minimum
tanah pertanian.
3.
Undang-undang No
2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
4.
Intruksi
Presiden No. 13 tahun 1980 tentang pedoman pelaksanaan Undang-undang No. 2
tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
No comments:
Post a Comment