Thursday, 6 October 2016

Sejarah Hukum Pertanian Di Indonesia

Hasil gambar untuk kartun sejarah pertanian
Mari Bangkitkan Pertanian Di Indonesia

      A.    Sebelum Zaman Penjajahan
Dalam masyarakat Indonesia zaman dahulu, kita sudah mengenal adanya masyarakat hukum adat dari suatu daerah tertentu yang merupakan persekutuan hukum atau masyarakat hukum dalam suatu wilayah tertentu yang berbeda-beda. Orang asing menyebutnya dengan Rechtsgemeenschaap atau Beschikkingskring.[1] Selanjutnya kita mengenal adanya hak atau wewenang menguasai diri persekutuan hukum tersebut terhadap wilayah atau tanah dalam wilayah persekutuan hukum adat itu. Hak persekutuan hukum adat ini oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah “Beschikkingskringrecht“ yang mana C. Van Vollenhoven Menguraikan adanya enam sifat “Becschikkingskringrecht” yaitu[2] :
  •     Persekutuan hukum itu sendiri dan warganya boleh menggunakan dengan bebas tanah yang masih terletak didalam wilayah pertuanan yaitu mengelolahnya, mengumpulkan hasil hutan, hasil pertanian, berburu, dan lain sebagainya.

  • Orang luar boleh juga menggunakan hak itu dengan seizing pamong persekutuan tanpa izin orang tersebut telah melakukan delik.
  • Orang-orang luar bagi warga persekutuan kadang-kadang harus membayar uang (pengakuan/rekognisi) jika hendak menarik hasil dari pada tanah-tanah persekutuan itu.
  • Persekutuan hukum harus bertanggungjawab terhadap delik-delik tertentu yang telah melakukan dalam wilayah pertuanan jika tidak dapat ditentukan bersalah.
  • Persekutuan hukum tidak dapat melepaskan hak pertuanan selama-selamanya.
  • Persekutuan hukum tetap campur tangan secara koras maupun tidak atas pemakaian tanah dan pemindahan ha katas tanah itu, segala transaksi atas tanah selalu membutuhkan bantuan kepada persekutuan.
            Sedangkan menurut Supomo berbeda pendapat terhadap hak tersebut yang menyebutnya dengan “Hak Pertuanan“ namun menurut Hazairin disebut dengan hak wilayat yang merupakan serangkaian hak dan kewajiban yang mengatur hubungan antara orang luar dengan lingkungan tanah serta anggotanya atau persekutuan itu sendiri.[3]Sehingga hak pertuanan atau hak ulayat merupakan hak tertinggi dari persekutuan hukum (baik dalam persekutuan hukum geneologis maupun persekutuan hukum teritorial) dalam suatu adat istiadat di wilayah adat tersebut yang berbeda-beda dalam tradisi hukum seperti istilah adat untuk nama pertuanan “beschikkingsrecht” ini tiap daerah berbeda-beda umpamanya  : “petuanan” (Ambon), “Penyampeton” (Kalimantan), “wewengkon” (Jawa), “Parabumian” (Bali), “Totabuan” (Gorontolo), “Hak Ulayat” (Minangkabau), dan lain sebagainya.[4] Di bawah hak ulayat yang merupakan hak persekutuan hukum terhadap hak-hak perseorangan bagi anggota-anggota persekutuan hukum tersebut, seperti hak milik, hak pungut hasil (bagi hasil), atau hak bagi orang luar persekutuan tersebut seperti hak pakai.[5]

B.     Zaman Penjajahan
Pada masa 1602-1799 VOC mempunyai hak bagian-bagian tanah tersebut disamping memegang monopoli dagang besar. Bagian-bagian tanah yang dikuasai tersebut adalah merupakan daerah yang jatuh karena ditaklukan dengan senjata atau dikuasai berdasarkan perjanjian dibuatnya. Keadaan itu mengakibatkan VOC mempunyai kekuasaan yang memperlakukan hukum barat tanpa mengindahkan hukum adat  dengan adanya pajak hasil bumi dijalankan di mana-mana sehingga mengakibatkan pemberontakan dan peperangan sehingga menimbulan VOC kekurangan uang dan menjual tanah-tanah yang kemudian dikenal dengan tanah partikelir (seperti di srengseng dan depok tahun 1705).[6]
Tahun 1808-1811, Mr. Herman Willem Daendels yang merupakan Gubernur Jendral di Indonesia setelah VOC bubar meneruslah penjualan tanah kepada pihak swasta secara besar-besaran (umpamanya tanah yang di Panarukan, Probolinggo). Disamping pungutan pajak hasil bumi tetap berlangsung Setelah itu pada Tahun 1811-1816, Thomas Stanford Raffles menggantikan Daendels dia berdasarkan penyelidikan mempunyai kesimpulan bahwa semua tanah adalah kepunyaan Raja/Gubernur (selaku penjajah) yang kemudian menyewakan kepada Kepala Desa dan seterusnya menyewakan kepada petani. Dengan demikian karena semua tanah adalah milik gubernur maka rakyat dianggap sebagai penyewa (Pachter). Petani sebagai penyewa wajib membayar sewa baik berupa uang atau hasil tanah . Berdasarkan teori maka Raffles mengadakan teori “Landrent“ atau pajak bumi. Tahun 1830-1833, Van den Bosch menjadi Gubernur Jendral Indonesia dia meneruskan teori Raffles dengan membentuk tanam paksa (Culturstelsel). Dengan Culturstelsel ini dibebankan tidak membayar pajak namun 1/5 dari hasil tanahnya harus ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan untuk dipasarkan di Eropa karena Culturstelsel hanya untuk kepentingan penjajah dalam hal ini untuk mengisi kas Negara pemerintah Belanda yang mana dalam prakteknya Culturstelsel ini merugikan rakyat.[7]
Pada waktu diadakan culturstelsel (tanam paksa) tidak lagi diadakan persewaan baru keadaan demikian ini berlangsung sampai keluarnya pasal 62 RR (Rengerngs Reglement) singkatan dari Reglement Op Het Beleid Der Regering Van Nederlands Indie pada tahun 1854. Sebelum tahun 1839 ada tanah yang belum dibuka dan diusahakan oleh rakyat (tanah-tanah kosong) yang disewakan oleh pemerintah untuk perseroan-perseroan perkebunan tetapi sejak itu sejalan dengan sistem tanam paksa tidak diadakan persewaan baru namun dengan keluarnya ketentuan pemerintah Belanda pada tahun 1854 yaitu pasal 62 RR ayat 3 secara tegas dibuka lagi kesempatan untuk menyewa tanah dari Pemerintah.[8]
Pada tahun 1870 Pemerintah jajahan Belanda mengeluarkan undang-undang yang berhubungan dengan kebijakan mengenai Agraria yang disebut dengan Aggrarische Wet   (Stbl. 1870 No. 55) berkaitan dengan perkembangan sejarah politik hukum adat yaitu kebijakansanaan, sikap terhadap dan terutama adalah perundang-undangan berhubungan dengan hukum adat yang mana saat dikeluarkannya Agrarische Wet adalah dalam waktu 1848-1928 yang mana hasil kodifikasi Belanda telah nyata menjadi hukum Positif di Negeri Belanda sehingga saatnya juga untuk memulai di Indonesia suatu usaha membuat peraturan-peraturan tetap yang akan mengganti peraturan sementara dan peraturan lama.[9]
Setelah Agrarische Wet hingga pada tahun 1928 untuk melaksanakan peraturan tersebut masih kurang cukup aturan yang jelas sehingga dikeluarkan berbagai Peraturan salah satunya yang paling penting ialah Koningklijk Besluit atau dikenal juga Agrarisch Besluit (AB) yang diundangkan dalam Staatblad tahun 1870 No. 118 yang mana dalam aturan tersebut  adanya peraturan penting dan terkenal dengan sebutan “Domenverklaring” (Pernyataan Domein) yaitu semua tanah yang tidak dibuktikan tanah hak milik mutlak (eigendom) orang lain maka tanah itu menjadi tanah Negara sehingga menjadi konsekwensi penetapan ini menjadi tidak berdasar tentang peraturan eigendom sehingga banyak tanah adat menjadi tanah Negara dalam kepemilikannya karna sulit membuktikan mana tanah adat dan mana tanah Negara secara hukum Formil dalam suatu sengketa di dalam persidangan dalam hukum Belanda.[10]

C.    Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1960)
Sejalan dengan kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia, maka secara berangsur-angsur telah terjadi usaha perombakan dan perubahan untuk mengganti Undang-undang yang dibuat pada zaman kolonial dengan perundang-undangan yang sesuai dengan kemerdekaan menuju kesejahteraan bagi bangsa Indonesia. Cita-cita unifikasi, kodifikasi dan perombakan isi perundang-undangan mulai dikumandangkan oleh bangsa Indonesia melalui pemimpin-pemimpinnya, seperti tahun 1958 keluar Undang-undang Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir dan tahun 1960 keluar Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tantang perjanjian bagi hasil yang mana dalam aturannya memberikan gambaran dalam melakukan perjanjian bagi hasil namun dalam prakteknya belum memberikan yang maksimal karna tidak adanya aturan secara teknis.[11]
Dan lebih gambling lagi pada tahun 1959 dinyatakan lebih tegas dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 sebagai berikut :”…Demikian pula persoalan tanah. Kita mewarisi dari zaman Belanda beberapa hal yang harus diberantas. Antara lain apa yang dinamakan (Hak Eigendom)  diatas sesuatu bidang tanah. Mulai sekarang kita coret sama sekali eigendom tanah dari hukum pertanahan di Indonesia. Tak dapat kita benarkan di Indonesia merdeka ada sesuatu bidang tanah yang di eigendom oleh orang asing in casu orang belanda. Kita hanya mengenal hak milik tanah bagi bangsa Indonesia sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.”  Sehingga pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 menurut Dewan Pertimbangan  Agung telah menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 yo. Tap MPRS No. 1/MPRS/1960 yang kemudian menjelang keluarnya UU No. 2 tahun 1960 yang mempengaruhi UU No. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.[12]

D.    Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia (Tahun 1960 hingga sekarang)
Sejalan mengalami proses yang cukup lama maka pada tahun 1960 keluarlah Undang-undang nomor 5 tahun 1960 Lembar Negara Nomor 104 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria yang berlaku pada tanggal 24 September 1960 maka terjaminnya hak dan kewajiban penduduk warga Indonesia. Sehingga dalam pelaksanaannya (pasal 7) tentang pengaturan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga atau badan hukum maka dikeluarkannya peraturan-peraturan misalnya Undang-undang nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian dan Instruksi Presiden Nomor 13 tahun 1980 tentang pelaksaan Undang-undang Nomor 2 tahun 1960 serta untuk melaksanakan ketentuan Konvensi sebagaimana tercantum dalam bagian kedua  tercantum dalam bagian kedua Nomor 5 tahun 1960 tentang dikeluarkan berbagai peraturan seperti Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-undang Pokok Agaria yang mana dalam melakukan peraturan dibidang Agraria terjamin sebagai dasar hukum.[13]
Untuk melaksanakan Pasal 17 tentang peraturan luas maksimum/minimum tanah yang boleh dipunyai oleh keluarga atau badan hukum maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan misalnya[14] :
1.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 56 tahun 1960 yang disahkan menjadi undang-undang No. 1 tahun 1961  tentang penetapan luas tanah pertanian.
2.      Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 978/Ka/1960 tentang penegasan luas maksimum/minimum tanah pertanian.
3.      Undang-undang No 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
4.      Intruksi Presiden No. 13 tahun 1980 tentang pedoman pelaksanaan Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.



[1] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia (Serang : Tanpa Penerbit,1992), h. 13.
[2] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 15.
[3] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 14.
            [4] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 15-16
            [5] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 16.
                [6] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 16-17.
[7] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h.17-18
[8] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 18-19
[9] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 20-21
[10] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 26-27
[11] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 33-34.
[12] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 32-33.
[13] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,... h. 35-36.
[14] Suparman Usman, Hukum Agraria Indonesia,… h. 39-40.

No comments:

Post a Comment